Sejarah FPI - Paska tumbangnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998, diwarnai dengan munculnya aktor ”Gerakan Islam Baru” (new Islamic monement). Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan Islam lama, seperti NU, Muhamadiyah, Persis, al Irsyad, al Wasliyah, Jamaat Khair dan sebagainya.
Sejarah FPI |
Organisasi gerakan Islam baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam sebelumnya, memiliki karakter yang lebih militan, radikal, skripturalis, konservatif, dan ekslusif, dengan visi dan misi mewujudkan penerapan syari’at Islam di Indonsia. Secara keseluruhan kelompok ini menganut paham ”salafisme radikal”, yakni berorientasi pada penciptaan kembali masyarakat salafi (generasi Nabi Muhammad dan para sahabatnya), dengan cara-cara keras dan radikal. Bagi kelomppok ini Islam pada masa kaum salafi inilah merupakan Islam paling sempurna, masih murni dan bersih dari berbagai tambahan atau campuran (bid’ah) yang dipandang mengotori Islam. Gerakan Islam versi mereka lebih bercorak konfrontatif terhadap sistem sosial dan politik yang ada, menghendaki adanya perubahan mendasar terhadap sistem yang ada saat ini (yang mereka sebut sistem sekuler atau jahiliah modern), dan berupaya menggantinya dengan sistem baru yang mereka anggap sebagai sistem Islam (nidzam Islam). Islam sebagai alternatif (al–Islam kabadil), Islam adalah solusi (al-Islam huwa al-hall). Syariat Islam adalah solusi krisis, dan merupakan jargon-jargon yang menyemangati gerakan mereka. Andri Rosadi mengindentifikasi bahwa organisasi ini adalah: kelompok tarbiyah, yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonsia (MMI), Laskar Jihad (Yogyakarta), Laskar Jadullah (Sulawesi Selatan), dan Fron Pembela Islam (FPI).
1. Sejarah FPI
FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Selatan Jakarta oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerahJabotabek. Pendirian organisasi ini hanya empat bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, karena pada saat pemerintahan orde baru presiden tidak mentoleransi tindakan ekstrimis dalam bentuk apapun. FPI pun berdiri dengan tujuan untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.
Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan.
Latar belakang pendirian FPI sebagaimana diklaim oleh organisasi tersebut antara lain:
1. Adanya penderitaan panjang ummat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa.
2. Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan.
3. Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam.
Pada tahun 2002 pada tablig akbar ulang tahun FPI yang juga dihadiri oleh mantan Menteri Agama dan terdakwa kasus korupsi Dana Abadi Umat (DAU), Said Agil Husin Al Munawar, FPI menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan menambahkan "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" seperti yang tertera pada butir pertama dari Piagam Jakarta yang dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945 ke dalam amandemen UUD 1945 yang sedang di bahas di MPR sambil membawa spanduk bertuliskan "Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa".
Namun Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Dr. J. Soedjati Djiwandono berpendapat bahwa dimasukkannya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 yang diamandemen, justru dikhawatirkan akan memecah belah kesatuan bangsa dan negara, mengingat karekteristik bangsa yang majemuk. Pembentukan organisasi yang memperjuangkan syariat Islam dan bukan Pancasila inilah yang kemudian menjadi wacana pemerintah Indonesia untuk membubarkan ormas Islam yang bermasalah pada tahun 2006.
2. Paradigma Radikalisme
Radikalisme dalam studi ilmu sosial diartikan sebagai pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya. Radikal dan radikalisme adalah sebenarnya konsep yang netral dan tidak bersifat pejorative (melecehkan). Perubahan radikal bisa dicapai melalui cara damai dan persuasif tetapi bisa juga dengan kekerasan. Dan dalam hal ini perlu dibedakan antara kekerasan fisik dengan kekerasan yang berbentuk simbolik atau wacana. Biasanya banyak pihak cenderung mengasosiasikan kekerasan dalam bentuk fisik, seperti: penyerangan, pemukulan, pengrusakan dan sebagainya tetapi mengabaikan kekerasan simbolik atau wacana. Sedangkan provokasi, penglabelan, stigmatisasi, atau orasi yang agitatif, termasuk hate speech, condoning disepelekan dan bukan sesuatu yang dilihat sebagai kondisi yang memungkinkan ekskalasi menuju kekerasan fisik.
Radikalisme dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan. Sedangkan radikalnya adalah paham yang menginginkan perubahan sosial dn politik dengan cara drastis dan kekerasan. Dalam perkembangannya, radikalisme diartikan sebagai pahan yang menginginkan perubahan besar. Menurut sebagian ahli dalam pernyataan Maruf Amin bahwa radikalisme ditandai dengan tiga kecenderungan umum, Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak.
Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya menggantikan tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan sendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menggantikan tatanan yang sudah ada. Dalam konteks radikalisme paham keagamaan biasanya kelompok ini memaksakan pemahaman keagamaannya dan ada agenda yang jelas untuk mengganti aturan-aturan yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka, dengan cara apapun, bahkan jika diperlukan dengan mempergunakan cara kekerasan sekalipun. Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional dengan menjurus kepada kekerasan. Kemudian Nasution (1995: 124) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian (Madjid, 1995: 260).
1. Konspirasi asing atas kelahiran FPI
Front Pembela Islam (FPI) lahir pasca keruntuhan Orde Baru, bersamaan dengan munculnya komunitas baru, seperti PKS, HTI, MMI, dan sejenisnya.. Sederetan peristiwa, terakhir peristiwa kerusuhan Monas tanggal 1 Juni 2008, telah menyeret pimpinan FPIHabib Rizieq Syihab ke meja hijau. Kehadiran FPI di tanah air apa yang dikatakan Nurcholish Majid sebagai ”Ledakan Perisiwa” dalam era reformasi, saat elemen masyarakat menyuarakan reformasi politik, ekonomi dan hukum, FPI mengusung slogam: ”Reformasi Moral”. Buku yang ditulis Andri Rosidi ini berisi studi antropologi terhadap gerakan FPI di Jakarta, sebagai bagian upaya memahami pola gerakan organisasi Islam di Indonesia. Pilihan pada FPI didasarkan pada fakta lapangan, bahwa organisasi ini cukup konsisten melakukan aksi massa, berbeda dari organisasi Islam lainnya. Di antara aksi-aksi FPI adalah: 1) Peristiwa Ketapang 1998; 2) Perang Cikijing 2000; 3) Demonstrasi menuntut pemberlakuan syariat Islam di depan gedung DPR 28 Agustus 2001; 4) Demonstrasi menuntut pengunduran diri presiden Megawati 6 Januari 2003; 5) Penentangan kontes Waria di Sarinah akhir Juni 2005; 6) Penyerangan terhadap Kampus Mubarak (aliran Ahmadiyah) di Parung Bogor 15 Juli 2005; 7) Ancaman serangan terhadap kantor Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu Jakarta Pusat 13 Agustus 2005; dan terakhir 8) Peristiwa penyerangan FPI terhadap kelompok aliran Ahmdiyah dan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Monas 1 Juni 2008.
Elemen negara yang paling sering bersentuhan dengan FPI adalah aparat keamanan, karena dalam prakteknya, disinyalir bahwa FPI telah menjadi polisi swasta, dengan operasi mereka yang ilegal. Akibat aksi-aksi FPI tersebut, Polri pada tanggal 30 Mei 2006 menggelar pertemuan dengan angota DPR membahas desakan pihak-pihak yang menghendaki FPI itu dibubarkan. Kondisi ini sebagai cemin bahwa hubungan FPI dengan pemerintah selalu kontradiktif, yang berujung ditahannya beberapa orang tokoh sentral FPI termasuk Habib Rizieq. Contoh lain, dalam kasus pengrusakan Kedutaan Besar AS dan Kantor Majalah Playboy, polisi menangkap puluhan anggota FPI sebagai tersangka, sehingga dengan demikian hubungan FPI dengan pemerintah bertambah rumit, karena adanya faktor politik, misalnya beberapa Partai Islam punya kepentingan dengan FPI. Dalam hal ini, ada tiga elemen penting yang sering memanfaatkan organisasi model FPI, yaitu kelompok Pebisnis, Politisi, dan Militer. Habib Rizieq berkali-kali menegaskan, bahwa.pembubaran FPI tidak akan efektif, karena FPI sudah sangat siap mem-PTUN-kan instansi pemerintah mana saja yang membubarkannya, dan jika kalah FPI akan berganti nama dengan personil dan kantor yang sama. Pada sisi lain, FPI curiga, bahwa wacana pembubaran FPI disebabkan intervensi asing (konspirasi), sebab wacana itu baru digulirkan dua hari setelah kunjungan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Donald Rumsfeld. Di sini tampak adanya rasa saling tidak percaya antara FPI dan pemerintah, yang terus bertahan hingga sekarang ini.
Di samping berdasarkan logika agama di atas, FPI juga memahami realitas kemungkaran tersebut sebagai bagian dari konspirasi pihak Barat untuk menghancurkan umat Islam. Menurut Habib Rizieq, ada lima keistimewaan Indonesia dan bagaimana cara Barat menggerogotinya: 1) Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, maka untuk menghadapinya, pihak Barat lalu mendanai gerakan Kristenisasi di Indonesia dengan tujuan untuk menciptakan keseimbangan kuantitas antara muslim dan Kristen; 2) Indonesia merupakan negeri muslim yang paling luas wilayahnya, maka untuk menghancurkannya, pihak Barat kemudian berperan aktif dalam proses lepasnya Timor Timur dari Indonesia; pihah Barat juga membantu Republik Maluku Selatan (RMS), Gerakan Aceh Merdeka (OPM), dan jika gerakan separatis ini berhasil, Indonesia akan menjadi negeri kecil yang lemah; 3) Indonesia merupakan negeri muslim yang terkaya hasil alamnya, maka untuk menggerogotinya, perusahaan Barat mengeruk secara berlebihan sumber daya alam Indonesia, misalnya perusahan minyak Amerika Exon Mobile, Caltex, Mobil Oil; 4) Indonesia adalah negeri muslim yang paling strategis letak geografisnya, maka pihak Barat selalu menghalangi segala perkembangan di Indonesia. Contoh kasus Batam, dimana Barat selalu menghalangi usaha pemerintah Indonesia untuk menjadikan Batam sebagai pusat bisnis di Asia Tenggara, bahkan Singapura turut meniupkan issu tak sedap bahwa Indonesia merupakan sarang teroris; dan 5) Indonesia merupakan negeri muslim yang paling demokratis, sehingga dakwah Islam bisa berjalan lancar, maka untuk menyaingi amar ma’ruf dan nahi munkar, pihak Barat melakukan yang sebaliknya, yaitu menjadi amar munkardan nahi ma’ruf.
2. FPI dan Radikalisme
Kelahiran FPI di sekitar fase reformasi politik di Indonesia, lebih tepat lagi jika dipahami dalam konteks reaksi terhadap negara yang sedang lemah, baik oleh serbuan kapitalisme global maupun karena ambruknya Orde Baru, dan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Di sisi lain, pengalaman politik Orde Baru masa silam yang represif dan cenderung tidak menghormati hak asasi manusia, telah meninggalkan duka dan kekecewaan yang mendalam di hati umat Islam. Sulit untuk di sangkal, bahwa kelompok yang menjadi korban politik Orde Baru tersebut sebagian besar kalangan umat Islam. Kemudian, di samping asfek historis tersebut di atas, realitas sosial juga memberikan konstribusi penting dalam melahirkan FPI, antara lain keberadaan. premanisme, perjudian, pelacuran, pornografi, dan segala bentuk kemungkaran yang dilarang agama terus berkembang bebas tanpa kontrol yang berarti dari aparat penegak hukum. Tampaknya pusat-pusat perjudian, pelacuran, dan hiburan adalah milik para investor dengan tidak mempertimbangkan dampak yang diakibatkannya terhadap masyarakat, mereka diuntungkan oleh mekanisme pasar yang semakin terbuka, dimana legalitas hukum dari Pemerintah Daerah merupakan senjata utama untuk mengelak dari penolakan masyarakat. FPI melihat bahwa ada strategi pihak Barat untuk menghacurkan Islam di Indoneisa, yaitu dengan melakukan Amerikanisassi, mulai dari aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sementara, Amerika dan sekutunya telah merekrut sebanyak-banyaknya muslim Indonesai agar belajar di negara-negara Barat untuk dicuci otaknya, dan di sisi lain di Indonesia sendiri, pihak Barat telah banyak mensuplai VCD porno, mesin judi, narkoba, dan minuman keras. Perasaan senasib inilah yang telah memperkuat ikatan emosional dalam komunitas yang terkadang terekspesikan dalam bentuk anti Barat atau anti Amerika.
Untuk menjawab permasalahan tersebut di atas, Fron Pembela Islam (FPI) telah mengusung misi, bahwa harus ada gerakan yang berani melawan prkatek-prkatek kemunkaran dan kemaksiatan secara prontal. Dari namanya sendiri, Front berarti berada di garis paling depan, sedangkan Pembela, artinya usaha pembelaan terhadap Islam sebagai agama dan umat dari hal-hal yang munkar dan maksiat. Karena itu, kegiatan FPI yang paling penting bukan pengembangan ekonomi atau intelektual umat, tetapi reaksi fisik secara prontal tanpa kompromi dalam memberangus tempat-tempat kemunkaran dan kemaksiatan. Inilah warna gerakan FPI, dimana pihak-pihak yang tidak suka, memanggilnya ”kelompok radikal”. Istilah ini juga yang dipakai oleh penulis, sebagai pengganti kata-kata fundamentalis atau militanisme, yang dituduhkan Barat kepada kelompok ini. Menurut Kartodirjo, bahwa radikalisme ditandai dengan penolakan secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berkaku, hanya karena kejengkelan moral yang kuat terhadap kaum yang memilikii hak-hak istimewa dan berkuasa. Dalam hal ini, pemahaman radikalisme FPI Andri Rosadi diletakkan dalam konteks gerakan perlawanan kaum agama untuk mengurangi ataupun menolak berbagai pelanggaran yang terjadi di masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Sasaran gerakan tersebut adalah kebijakan negara dan penetrasi kapitalisme global. Ikatan kebersamaan yang dibangun dalam komunitas FPI ini lebih bersifat emosional yang bersumber dari ikatan kesatuan agama.
Semboyan yang digunakan FPI dalam renah perjuangannya mengadopsi dari kata-kata terakhir Sayyid Qutb (tokoh Ihwanul Muslimin), sebelum ajal menjemput di tiang gantungan di era Presiden Jamal Abdul Nasser: ”hidup mulia atau mati syahid”. Kalimat ini mengandung pengertian, hanya orang mulia yang menginginkan mati syahid, dan juga kesyahidan hanya bisa dicapai oleh orang yang hidupnya mulia. FPI memaknainya dengan sebuah motto: ”kebenaran tanpa sistem akan dikalahkan oleh kebatilan yang memiliki sistem”. Belajar dari sejarah, FPI kemudian berusaha menjadikan organisasi ini menjadi lebih solid, mereka menyadari sepenuhnya bahwa hanya dengan sistem yang baik, perjuangan bisa dicapai, visi dan misi bisa diraih dan diwujudkan. Berkaitan dengan itu, FPI mengurai motto tersebut dalam sebuah ungkapan: ”bagi mujahid, difitnah itu biasa, dibunuh berarti syahid, dipenjara berarti uzlah (menyepi), diusir berarti tamasya. Tekad FPI sepertinya, apa pun risiko yang dihadapi, bukanlah halangan yang berarti untuk terus berjuang.
Strategi untuk membangun militansi anggotanya, dituangkan dalam 5 doktrin FPI, yakni:
1) mengikhlaskan diri;
2) memulai dari diri sendiri;
3) kebenaran harus ditegakkan;
4) setiap orang pasti akan mati; dan
5) menjadi mujahid di atas para musuhnya.
Doktrin FPI tersebut terlihat pada visi dan misi organisasi, yaitu Amr Ma’ruf dan Nahi Munkar, artinya menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar adalah satu-satunya solusi untuk menghindari kezaliman dan kemunkaran, dan menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar harus dilakukan bersifat kaffah (kompehensip).
Strategi untuk membangun militansi anggotanya, dituangkan dalam 5 doktrin FPI, yakni:
1) mengikhlaskan diri;
2) memulai dari diri sendiri;
3) kebenaran harus ditegakkan;
4) setiap orang pasti akan mati; dan
5) menjadi mujahid di atas para musuhnya.
Doktrin FPI tersebut terlihat pada visi dan misi organisasi, yaitu Amr Ma’ruf dan Nahi Munkar, artinya menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar adalah satu-satunya solusi untuk menghindari kezaliman dan kemunkaran, dan menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar harus dilakukan bersifat kaffah (kompehensip).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar