Sejarah Korupsi Indonesia - Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepadaUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada periode 2006-2011 KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November 2010, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dilanjutkan lagi oleh Abraham Samad sejak 2011. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai sejarah terbentuknya KPK, ditinjau dari tiga sudut pandang, yakni sudut pandang historis, yuridis, dan filosofis.
Sejarah Korupsi Indonesia |
Telaah Historis Lahirnya KPK
1) Korupsi Pada Orde Lama
a. Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturanUndang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamindan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir dengan ketidakjelasan, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
b. Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Tugas yang diemban lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Sebagaimana terjadi sebelumnya, alasan politis menyebabkanstagnansi, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang lebih Rp. 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan PresidenSoekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
2) Korupsi pada Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto secara terus terang mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuaiJaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empatberanggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof. Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV. Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi seolah tidak memiliki kekuatan ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagaiPangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di pemerintahan era Orde Baru.
3) Korupsi pada Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, sepertiKomisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
Telaah Yuridis Kelahiran KPK
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa upaya pembentukan badan pemberantasan korupsi telah dimulai sejak zaman orde lama. Akan tetapi kemunculan KPK dapat dilihat awal kelahirannya terutama setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada tanggal 5 April 2000, Presiden RI yang waktu itu dijabat oleh Abdurrahman Wahid mengeluarkan Peraturan Pemerintah Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim Gabungan tersebut terdiri dari unsur-unsur Kepolisian Negara, Kejaksaan, instansi terkait, dan unsur masyarakat. Tim Gabungan mempunyai tugas dan wewenang mengkoordinasikan penyidikan dan penuntutan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya.
Tim Gabungan tersebut merupakan embrio terbentuknya KPK. Tugas dan kewenangan berupa penyidikan dan penuntutan terhadap perkara korupsi sudah dimiliki oleh Tim Gabungan tersebut, hanya saja secara kelembagaan masih lemah. Dalam menangani korupsi yang semakin sistematis dan terstruktur, tentu tidak dapat dilakukan oleh sekedar Tim Gabungan yang tidak didukung dengan struktur kelembagaan yang kuat. Apalagi koordinasi Tim Gabungan tersebut masih dilakukan dibawah komando Jaksa Agung, yang diketahui meskipun memiliki kewenangan penyidikan dan penuntutan ternyata tidak mampu menunjukkan kinerja yang optimal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pembentukan KPK dimulai dari ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengamanatkan perlunya dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal tersebut tercantum pada konsiderans Menimbang huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemudian menjadi dasar penyusunan UU KPK tersebut.
Secara lebih luas, dasar hukum pembentukan KPK antara lain terdiri dari:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Secara singkat, Komisi Pemberantasan Korupsi lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Telaah Filosofis Kelahiran KPK
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Pada konsiderans Menimbang huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disampaikan bahwa landasan filosofis pertama pembentukan KPK adalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Pada konsiderans Menimbang huruf b UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disampaikan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Dua konsiderans tersebut menunjukkan bahwa sebelum terbentuknya KPK, lembaga penegak hukum yang ada (Kejaksaan dan Kepolisian Negara) dinilai belum mampu melakukan penanganan perkara korupsi secara efektif dan efisien. Meskipun gabungan kewenangan dari kedua instansi tersebut sudah sangat memadai untuk menangani perkara korupsi, namun hal tersebut tidak diikuti dengan pencapaian kinerja yang optimal dalam pemberantasan korupsi.
Ketidakmampuan Kejaksaan dan Kepolisian Negara tersebut menjadi isu yang sangat tidak relevan dengan agenda reformasi yang sedang gencar didengungkan, yakni terutama pemberantasan korupsi. Euforia pembentukan kehidupan bernegara yang baru, yang bersih dari praktik korupsi, menuntut upaya lebih dalam menangani perkara korupsi. Dengan latar belakang tersebut dibentuklah lembaga baru, dengan struktur kelembagaan yang jelas dan kewenangan yang luar biasa, untuk menangani korupsi yang disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Sejarah lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia
Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebutPanitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. KepadaParan inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagiA.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masaOrde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soehartoterang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuaiJaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagaiPangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis
KPK dibawah Taufiqurrahman Ruki (2003-2007)
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan AnggotaDPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
Orde Lama, Kabinet Djuanda, dimasa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang keadaan bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), badan ini dipimpin oleh A.H.Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Profesor M.Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada PARAN inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada PARAN, tetapi langsung kepada presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, PARAN berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi didirikan pada Tahun 1963, melalui Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang pada saat itu menjabat sebagai menteri koordinator pertahanan dan kemanan/ KASAB, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Bhudi. kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi kepengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta Lembaga Negara lainya yang dianggap rawan praktek
korupsi dan Kolusi17.
Lagi-lagi alasan politisi menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang bertugas ke Luar Negeri dan direksi lainya menolak karena belum adanya surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektifitas lembaga ini. Operasi Budhi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan ngara kurang lebih Rp.11M. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubaranya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF) dengan presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatat bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama kembali masuk kejalur lambat, bahkan macet.
Orde Baru, Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkeritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi yang terpusat ke Istana, pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun ternyata, ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite 4 (empat) beranggotakan Tokoh-Tokoh Tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof.Johanes, I.J.Kasimo, Mr Wilopo, dan A.Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini menjadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib dengan tugas antara lain juga memberatas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down dikalangan pemberatas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana
Orde Baru18.
Era Reformasi, Di Era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. namun, ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akhirnya dibubarkan dengan logikan membenturkanya ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Nasib Serupa tapi tidak sama dialami oleh KPKPN dengan dibentuknya Komis Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk kedalam KPK, sehingga KPKPN sendiri menguap. Artinya, KPK adalah Lembaga Pemberantasan Korupsi Terbaru
yang kian bertahan.
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Seiring berjalannya Reformasi di Indonesia muncul berbagai macam perubahan dalam sistem Ketatanegaraan, khususnya perubahan pada Konstitusi Negara Indonesia. Salah satu hasil dari Perubahan Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara karena semua Lembaga Negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances.
Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga Negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis Lembaga Negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara.
Salah satu Lembaga Negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah KPK. Dibawah perlindungan hukum Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi. Kedepannya, kedudukan Lembaga Negara Bantu seperti KPK membutuhkan legitimasi hukum yang lebih kuat dan lebih tegas serta dukungan yang lebih besar dari masyarakat.